Semua bermula dari 2 tahun lalu saya ngerasa
jenuh sama rutinitas saya sehari2. Saya butuh hal yang baru untuk menepis zona nyaman yang sudah membuat otak saya tumpul. Dibilang kurang refreshing, ngga juga, kayanya emang nge-trip bukan solusinya.
Akhirnya kepikiran 2 hal:
Pindah kerja atau balik sekolah lagi.
Akhirnya kepikiran 2 hal:
Pindah kerja atau balik sekolah lagi.
Karena saya butuh hal yang benar2 baru, rasanya pindah kerja cuma akan pindah suasana kerja dan lingkungan baru aja. Tapi ga menyelesaikan akar masalahnya. Then, I come up with the
idea: sekolah lagi kali ya?
Tapi masalahnya sekolah master itu MAHAL beraats.
Klo diitung2 uang tabungan saya ga cukup dan ga mungkin minta sama orangtua. Hmmm satu2nya jalan
adalah harus nyoba apply beasiswa. Muncul pertanyaan baru, apply beasiswa caranya gimana ya?
Saya kembali mengandalkan google untuk browsing2 dan cara info sana sini. Ternyata banyak loh program beasiswa yang ditawarkan baik dari pemerintah Indonesia sendiri, maupun pemerintah Negara lain. Dari hasil googling, saya mulai ngelist lembaga mana yang ngasi beasiswa:
Saya kembali mengandalkan google untuk browsing2 dan cara info sana sini. Ternyata banyak loh program beasiswa yang ditawarkan baik dari pemerintah Indonesia sendiri, maupun pemerintah Negara lain. Dari hasil googling, saya mulai ngelist lembaga mana yang ngasi beasiswa:
- Australian Development Scholarship (AAS) – Australia
- DAAD – Jerman
- TheNetherlands Fellowship Programmes (NFP) – Belanda
- StuNed – Belanda
- Chevening – Inggris
- DIKTI – Indonesia
- LPDP – Indonesia
- Erasmus Mundus – Uni Eropa
- Fulbright – Amerika Serikat
- Monbukagakusho – Jepang
Ke-delapan
program beasiswa ini yang memang dikenal sama para scholarship hunter. Saya juga nemu akun twitter @BeasiswaIndo yang
tiap harinya posting info beasiswa di seluruh dunia.
Satu2 saya
cek websitenya lembaga pemberi beasiswa dan baca persyaratannya apa aja. Ternyata ga semua sama (ya iyalah bray). Ada
yang apply beasiswanya dulu, klo keterima, baru deh dikasi pengumuman keterima di
Universitas mana. Ada yang sebaliknya, apply ke universitasnya dulu, klo keterima,
baru apply beasiswanya.
Oia ga
cuma harus terpatok sama list ini ya, bisa juga kok kita ngajuin beasiswa ke
universitasnya langsung. Coba cek deh di masing2 website fakultas di
Universitas yang diminati. Pasti ada info soal scholarship.
Akhirnya setelah pelajarin satu2, Saya milih AAS sebagai prioritas pertama.
Akhirnya setelah pelajarin satu2, Saya milih AAS sebagai prioritas pertama.
Kenapa
pilih AAS?
- Karena beasiswa yang lain udah lewat masa tenggat pengiriman aplikasinya (nyeh! telat!)
- Saat ini Eropa masih krisis jadi pasti berpengaruh sama jumlah penerima beasiswa yang makin kesini makin dikit. Nah klo Australia lagi banyak duid! Tahun 2013 aja mereka ngasi beasiswa ke 450 orang, beda sama Chevening (Inggris) yang cuma ngasi beasiswa ke 26 orang di tahun yang sama. Dari situ aja udah keliatan AAS lebih berpeluang.
- Australia lebih deket sama Indonesia. as simple as that.
Abis itu
gw buka website AAS (AustralianDevelopment Scholarship), oia tahun 2013 namanya udah ganti jadi AAS
(Australian Awards Scholarship).
Website AAS sangat informatif sekali. Ada beberapa
dokumen yang bisa diunduh seperti brosur AAS, AAS Handbook dan TOEFL Test. Di
dokumen tersebut diberikan gambaran secara umum tentang AAS, dan di
brosurnya ada beberapa persyaratan yg harus dipenuhi untuk melamar AAS.
Persyaratan
AAS
- Pelamar tidak boleh berusia lebih dari 42 tahun pada tanggal penutupan aplikasi
- memiliki IPK minimal 2,9 dan IELTS minimal 5,0 (TOEFL Institusional/Paper-based minimal 500 atau TOEFL Internet-based minimal 61).
- IELTS atau TOEFL harus yang terbaru (minimal diambil tahun 2011 atau 2012).
- TOEFL yang dilampirkan minimal satu (1) original copy yang dikeluarkan institusi TOEFL terkait, dan nilai bahasa Inggris lainnya tidak akan diterima.
- Pemohon harus mengambil bidang studi yang tercakup dalam bidang yang telah diprioritaskan.
- Pemohon S2 harus sudah memiliki gelar S1 dan pemohon S3 diharuskan berposisi sebagai pembuat kebijakan (policy maker), peneliti atau dosen
- Pemohon gelar Master yang sudah memiliki gelar Master tidak memenuhi persyaratan untuk mendaftar. Demikian juga dengan PhD.
Saya kemudian cek
kapan deadline pengiriman form aplikasi beasiswa. Ternyata masih ada waktu 5
bulan untuk mempersiapkan semuanya. Alhamdulillah masih ada waktu panjang.
Abis pelajarin profil AAS dan persyaratannya. Saya
coba nanya ke diri sendiri. Saya mau ambil jurusan apa ya? Apa minat saya? trus ntar ke-depannya mau berkarir sebagai apa?
Salah satu pergulatan batin saya *halah* adalah apakah akan nerusin latar belakang pendidikan S1 (Ilmu Perpustakaan) atau coba nyebrang ke jurusan lain?
Salah satu pergulatan batin saya *halah* adalah apakah akan nerusin latar belakang pendidikan S1 (Ilmu Perpustakaan) atau coba nyebrang ke jurusan lain?
Ini penting karena rata2 di proses wawancara JST beasiswa kita akan ditanya: ngapain sekolah beginian? Setelah belajar
ini kontribusi lo apa buat organisasi dan bagi perkembangan Indonesia? nah
makdarit ini pertanyaan yang paling dasar dari segala proses beasiswa yang nanti akan dijalanin.
Ternyata, jujur perlu waktu berbulan2 loh. Saya pengen jadi Peneliti
(someday) tapi disisi lain saya juga cinta banget sama profesi Pustakawan. Apalagi di tempat saya bekerja, SMERU Research Institute, saya
bisa support data untuk penelitian.
In the sake of integrity and idealism, akhirnya saya memilih meneruskan jurusan yang masih inline dengan pendidikan S1. Hmmm, professional librarian bekerja di lembaga penelitian ga banyak jumlahnya. Someday, dengan izin Allah, saya pengen bisa jadi Knowledge Management
Expert di sebuah lembaga penelitian besar di Indonesia. Insya Allah.
No comments:
Post a Comment