Showing posts with label #Indonesia. Show all posts
Showing posts with label #Indonesia. Show all posts

Saturday, January 16, 2016

Trip Dieng, Wonosobo

Saya itu tipe orang yang jarang banget ngetrip ke tempat yang sama sampe 2x. Kecuali saya betah banget sama daerah tersebut (Jogya dan Bali) atau daerah tersebut punya tempat wisata baru yang sebelumnya belom ada. Nah, untuk alasan yang kedua, maka saya balik lagi ke Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah karena dulu pas pertama kali kesana tahun 2009 belom sempet ke Gunung Prau dan tempat wisata Batu Ratapan Angin beloman ada.



Untuk mencapai Wonosobo agak PR karena ga dilewatin jalur kereta dan letaknya di tengah2 Purwokerto dan Yogyakarta. Waktu trip pertama ke Dieng saya road trip dari Jakarta, sedangkan untuk trip kedua saya dan temen2 memutuskan untuk naik kereta ke Purwokerto dan dilanjutkan ke jalan darat ke Wonosobo. 


Kami memakai jasa Oke Tour Adventure untuk anter kami dari Purwokerto ke Wonosobo sekalian anter2 ke tempat wisata selama di Dieng dan anter kita ke Jogjakarta. Sebenernya bisa  juga ga pake tour tapi arrange trip sendiri, malah jatohnya bisa lebih murah.


Hiking Gunung Prau
Gunung Prahu (2.565 mdpl) atau lebih dikenal dengan nama Gunung Prau merupakan gunung yang berada di dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Gunung ini merupakan perbatasan tiga kabupaten yaitu Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Wonosobo. Menurut teman saya, sebelumnya tidak banyak orang yang hiking/kemping di Gunung Prau. Baru sekitar 2 tahunan ini jadi booming sebagai lokasi pendakian karena pengaruh sosmed (ada 1 orang yang posting lalu jadi banyak yang kesana).


Testimoni teman saya yang udah biasa mendaki gunung, Gunung Prau tergolong gunung yang tidak terlalu tinggi dan tak terlalu berat untuk didaki. Namun, bagi saya yang bukan hiking junkie dan jarang banget berolahraga, naik bukit pun berasa BERAT BANGET. Hahahahaha. Pendakian di rasa makin berat karena cuaca mendung tanda2 mau hujan. Jadinya udaranya berasa dingin2 semriwing. Serba salah antara gempor kecapean, tapi klo berenti kelamaan udaranya makin menusuk2 tulang. 



Gunung Prau ditutup untuk kemping pada bulan Januari – April untuk alasan penghijauan (mumpung musim hujan juga kali ya), tapi tetap diperbolehkan untuk melakukan pendakian. Biaya untuk pendakian 10.000/orang.


Bukit Sikunir
Hari kedua dilanjutkan mengejar sunrise di bukit Sikunir (2.263 mdpl). Treknya ga seekstrim Gunung Prau, tapi karena paha dan kaki masih kaget pasca hiking gunung Prau, jadinya rasanya lebih berat dari gunung Prau. Karna kondisi kaki masih njarem, akhirnya saya ga maksain liat sunrise. Yang penting berhasil naik ke puncak! 

Berbeda dengan Prau, pengunjung yang mendaki bukit sikunir banyak banget. Mungkin karena treknya yang ga sesulit dan setinggi Prau. Kami mulai mendaki jam 4.30 pagi dan ini terbilang udah siang untuk ukuran mengejar sunrise. Sesampainya di atas puncak, kabut yang sangat tebal menghalangi matahari terbit. Meskipun kami gagal melihat sunrise secara jelas, tetapi tetap senang bisa menikmati alam sekitar.


Sayangnya bukit sikunir banyak ditinggali sampah oleh pengunjungnya. Saya juga melihat banyak pedangan asongan yang menjajakan makanan instan dan minuman di puncak bukit. Pemandangan yang sangat tidak lazim melihat ada warung makan di atas gunung. Mungkin ini juga penyebab bukit Sikunir menjadi kotor, selain karena perilaku pengunjungnya yang suka membuang sampah tidak pada tempatnya atau membawa kembali sampah yang sudah mereka hasilkan.

Memang ga bisa diharapkan di atas gunung/bukit ada tempat sampah yang banyak, kita sebagai pengujung harus sadar diri dengan tidak membuat kotor/merusak alam.


Batu Ratapan Angin
Batu ratapan angin terletak persis di sebelah Dieng Theater. Harga tiket masuknya Rp. 10.000/orang. Disini kita bisa melihat keindahan 2 telaga yang berbeda warnanya dari ketinggian. Dan lagi2 karena tempatnya agak tinggi jadi kita harus naik tangga untuk mencapai batu ratapan angin. Tapi tenang, ga separah Bukit Sikunir kok. Hehehe. 



Pemandangannya bagus banget, serius! 

PS: klo main ke Dieng wajib nyoba Carica, buah khas Wonosobo.  

Photo credit: Prita Indah, Dinni S.  

Friday, October 23, 2015

Goa Jomblang

Bicara tentang Jogja tidak akan ada habisnya. Tidak cukup 2-3 blog posting yang khusus me-review satu persatu tempat wisata yang ada di Jogyakarta. Ya, Jogya merupakan salah satu daerah “paket lengkap” yang menjadi destinasi favorit wisatawan lokal, maupun mancanegara.

Selain wisata budaya seperti candi2 peninggalan jaman masehi, ataupun mengenal lebih dalam tentang budaya jawa yang kental dengan nilai filosofisnya, Jogya mempunyai keindahan wisata alam yang mempesona. Kita bisa menikmati keindahan penuh misteri dari gunung merapi, menangkap cantiknya sunrise di candi borobudur, menikmati senja di Parangtritis, ataupun bertualang menelusuri Goa.

Jogya memiliki banyak sekali Goa yang terletak di kawasan Gunung Kidul. Dahulu, wisata menelusuri goa tidak terlalu populer dibandingkan dengan wisata alam yang lain, namun sejak mulai di-explore oleh komunitas pecinta alam, menelusur goa menjadi salah satu tempat wisata pilihan di Jogya. 

Salah satu goa yang cukup terkenal di antara para wisatawan adalah Goa Pindul, pengunjung dapat tubing sekaligus caving di goa ini. Namun, kali ini saya ingin membahas tentang Goa Jomblang, salah satu potensi goa yang tidak kalah memukau dari Goa Pindul. 

How to get there
Goa Jomblang berada di Padukuhan Jetis Wetan, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul, sekitar 8 Km dari Wonosari atau 50 km dari Kota Jogya. Jika naik motor/mobil kira2 1.5 jam perjalanan. Klo naik motor siap2 bakalan encok dan pantat tepos karena medannya luarrrr biasaaaaaaa menantang. Selain menaiki gunung dan turuni lembah, kondisi jalan di Semanu rusak parah. Siap2 aja anjrut2an di motor. Hehehehe.

You’ll be surprise
Peserta yang sudah mendaftarkan diri pada waktu itu berjumlah 10 orang, sedangkan untuk maksimal peserta adalah 25 orang persesi. Sambil menunggu kami diarahkan untuk mengganti sepatu dengan sepatu boots (karena tanah di dalam goa merupakan tanah berlumpur), memakai helm dan body harness. Tepat pada pukul 10.30 kami pun bergegas ke lokasi goa jomblang yang ternyata bentukan dari hamparan tanah yang ambles. Sekilas seperti jurang karna saking diameternya lebar sekali.

Trus gimana caranya turun kebawah? JENG JENG, pake tali (single rope) yang diulur MANUAL oleh beberapa staff Jomblang cave tour! Saya deg2an banget saat itu, lutut saya lemas. Bukan karena saya takut ketinggian tapi saya saat itu merasa tidak aman dengan peralatan yang terlihat “sederhana”. Namun operator Jomblang Cave Tour berkali2 menjelaskan bahwa peralatan dan prosedur keamanan sudah mengikuti standar internasional. 


Bagian yang paling menakutkan adalag ketika detik2 menjelang turun, saya masih setengah percaya bahwa ini ga aman, tetapi akhirnya pasrah juga. Ketika sudah setengah jalan turun, rasa takut saya teralihkan oleh pemandangan vegetasi tumbuhan yang mengelilingi “jurang”.


Saya turun dengan single rope sekitar 60 meter, lalu dilanjutkan dengan jalan mendaki turun (30 meter) menuju goa. Sesampainya di mulut gua terlihat secara jelas sisa2 tanah ambles, Pak Tour Guide menjelaskan bahwa amblesnya tanah dikarenakan tanahnya lapuk akibat lembab yang disebabkan oleh sungai bawah tanah.

Kami kemudian berjalan menuju goa dalam gelap. Semakin ke dalam udara terasa semakin pengap, gerah dan lembab, pokoknya campur aduk jadi satu. Seketika keringetan sekujur tubuh. Tidak lama berjalan, sudah terlihat cahaya yang dinanti2.

“that-Jomblang-light”
Berbeda dengan goa pindul, goa jomblang menawarkan pemandangan cahaya dari perut bumi. Cahaya ini hanya bisa dilihat pada pukul 11.00 – 13.00. Cahaya ini terlihat miring lalu secara perlahan bergerak mengikuti arah matahari, puncaknya adalah ketika cahaya terlihat tegak lurus.  Selain pemandangan cahaya, kita juga bisa melihat batu yang mempunyai bentuk yang unik akibat tetesan air dari atas. Pengunjung tidak diperbolehkan menginjak batu karena dikhawatirkan akan rusak.



Worth the price
Goa jomblang memang tidak serame goa pindul. Ini yang menjadikan goa jomblang lebih “esklusif”. Selain itu biaya untuk mengeksplore goa jomblang relatif lebih mahal yaitu Rp.450.000/orang. Harga ini sudah termasuk sewa peralatan (helm, sepatu boots, dan body harness), minum dan makan siang. Menurut saya harganya sebanding dengan keindahan alam yang masih sangat alami. Selain itu pertimbangan bahwa untuk mencapai goa jomblang, masih pake cara yang manual. Hehehe. tarikkk manggg


Catatan:
  1. Karena peserta dibatasi 25 orang/hari, sebaiknya booking dulu dengan operator goa jomblang. Untuk contact personnya bisa menghubungi saya langsung di email ratri.septiana(at)gmail.com atau tulis email kamu di kolom “comment”, nanti akan langsung saya email CP-nya.
  2. Sebaiknya bawa kaos ganti karena sumuk banget.

Monday, January 21, 2013

Taman Nasional Baluran: Afrika rasa Indonesia.

Salah satu dari list panjangggggggg “places to see before I die” adalah bisa bersafari ke Negara Afrika. Pengen banget liat kehidupan liar satwa berlatar belakang padang Savanna, trus naik Jeep dan bawa kamera dengan lensa tele, pake celana kargo, kicimiti item! Beuuhh keren ya mimpi gw? Hahahaha.

Gunung Baluran

Anyway, ternyata lagi2 saya harus merasa bersyukur tinggal di Indonesia. Semua ada disini, baik pantai berpasir pink, gunung bersalju, green canyon, laut berwarna ijo toska, dan ternyata di Indonesia ada Afrika-nya jugaaaaa lho. Tepatnya di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi. Taman nasional ini bisa dibilang lengkap, selain padang savana, hutan mangrove, hutan musim, ada juga hutan pegunungan bawah, hutan rawa bahkan pantai dan area pegunungan! Rasanya klo iseng jalan kaki menyusuri tempat ini dari ujung ke ujung, mungkin memakan waktu 1-2 bulan karena luasnya 25.000 hektar bro.


Taman Nasional Baluran (TNB) didirikan pada tahun 1980 dan merupakan Taman Nasional pertama di Indonesia. Menurut Wikipedia: Taman Nasional ini memiliki sekitar 444 jenis tumbuhan dan di antaranya merupakan tumbuhan asli yang khas dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang sangat kering. Selain itu, terdapat sekitar 155 jenis burung (di antaranya termasuk burung langka), dan 26 jenis mamalia. Jadi aman, karena ga ada singa, cheetah maupun macan tutul. Hehehe 


TNB ini merupakan persinggahan terakhir dari #tripjawatimur, setelah mengunjungi #Tanjungpapuma dan #kawahIjen. Jarak dari Kawah Ijen menuju TNB cukup dekat, perjalanan hanya 2 jam (ga pake macet). Lagi2 kami mengandalkan Google Maps, jadi ga perlu susah nyarinya cukup mengikuti jalur ke Banyuwangi atau Bali.


Kami ke tempat ini pada saat musim kemarau (November 2012), ketika itu suhu mencapai 34 derajat celcius. Puncaknya bisa sampe 40 derajat celcius (walah!) hehehe. Ya itung2 latihan sebelum ke Afrika. Hehehe. Saya menginap di Wisma Banteng di Daerah Bekol. Pemandangannya langsung mengarah ke pegunungan dan Savana. Sayang waktu itu musim kemarau sehingga rumputnya hangus, jadi ga ada pemandangan padang kuning. Yang ada tanah item2 smua, tapi memang jenis tanahnya juga tanah vulkanik. 



HTM TNB berapa?
Dewasa : Rp. 2500/org
Pelajar : Rp. 1250/org
Turis asing : Rp. 20.000/org
Roda 4 : Rp. 6000/unit
Roda 2 : Rp. 3000/unit

Ada apa aja di TNB?
  1. Batangan: terdapat peninggalan sejarah berupa goa Jepang dan makam putra Maulana Malik Ibrahim.
  2. Bekol: melihat dari dekat burung merak dan satwa liar lainnya seperti rusa, kijang, kerbau dan banteng, ayam hutan dan burung.
  3. Pantai Bama, Balanan, dan Bilik: merupakan lokasi wisata bahari. Pengunjung dapat bermain kayak, memancing, dan snorkeling. Disini juga merupakan habitat tempat berkumpulnya monyet hutan.
  4. Manting dan Air Kacip: terdapat sumber air yang konon tidak pernah kering.
  5. Popongan, Sejile, Sirontoh, Kalitopo: terdapat fasilitas untuk naik perahu sambil mengamati ikan di laut dangkal. Selain itu terdapat pula lokasi pengamatan burung.
  6. Curah Tangis: Terdapat kegiataan panjat tebing.

Enakan nginep atau pulang pergi?
Menurut saya sih enakan pulang-pergi. Meski tempat ini luas banget dan ada fasilitas menginap, tapi sebenernya tidak terlalu banyak tempat wisatanya. Ya maklum karena tempat ini memang kawasan konservasi dan biasanya yang dateng kesini adalah peneliti yang ingin mengamati perilaku hewan2 di habitat asli maupun para pengamat burung dan photographer.



Trus klo mau nginep gimana?
Di TNB ada beberapa alternative tempat menginap. Sebaiknya menghubungi Staf TNB, Pak Djoko (081399082458), untuk booking kamar.

Daerah Bekol (Wisma menghadap Gunung dan Savana, tidak ada kantin/resto, kamar mandi diluar wisma)
  1. Wisma Rusa (Jumlah Kamar: 7, daya tampung 12 org), Harga Rp. 35.000/org
  2. Wisma Merak (Jumlah Kamar: 3, daya tamping 3 org), Harga Rp. 50.000/org
  3. Wisma Banteng (Jumlah Kamar: 2, daya tampung 4 org), Harga Rp. 250.000/unit
  4. Extra bed Rp25.000

Pantai Bama (Wisma menghadap Pantai, ada kantin untuk makan)
  1. Wisma Kapidada (Jumlah Kamar: 4, daya tampung 8 org), Harga Rp. 75.000/org
  2. Wisma Pilang (Jumlah Kamar: 1, daya tampung 6 org, ada AC), Harga Rp. 300.000/unit
  3. Extra bed Rp25.000

Note:
  1. Ga ada Sinyaaaaaallllll blassss di TNB.
  2. Jarak Lobby TNB ke Wisma di Bekol: 15 km lho, klo dari Wisma Bekol ke Pantai Bama sekitar 3 km.
  3. Di Wisma Bekol terdapat pos penjagaan dilengkapi dengan alat komunikasi dan juga dijual snack, seperti pop mie, oreo dll.
  4. Pelajar dan mahasiswa diberikan diskon sebesar 50 % dari tarif akomodasi yang berlaku.
  5. Listrik menyala hanya pada pukul 17.00 - 23.00 WIB. Kalau mau sewa genset biayanya Rp. 100.000/hari. Hanya menyala pada jam 23.00 - 06.00
  6. di Bekol ga ada rumah makan, jadi mesti ke Pantai Bama untuk beli makanan.
  7. Makanan di kantin Pantai Bama cuma ada 2 macem: Nasi Goreng (Rp. 10.000) dan Soto Ayam (Rp 15.000) *klo ga salah ya, maaf lupa* . Kalau mau mesan menu lain bisa, jadi nanti dimasakin sama staffnya. Waktu itu kami minta dimasakin Sayur Asem, Tempe, Ikan Asin dan Sambel Terasi untuk 9 orang, biayanya sekitar Rp. 250.000
  8. Disarankan membawa kendaraan sendiri, karena klo mau sewa motor/mobil/truk safari kudu nyewa lagi. Sepeda motor: Rp. 30.000 ; Mobil: Rp. 100.000 (kapasitas 4 org) ; Truk: Rp, 150.000
  9. Di Pantai Bama banyak banget nyamuuukkk, karena disana ada hutan mangrove, jadi harus bawa autan.
  10. Website resmi TNB:  http://balurannationalpark.web.id/page-category/tentang-kami/
  11. Bawa kamera tele untuk foto kawanan rusa, burung merak dan burung di atas pohon.

Perlu diingat bahwa TNB adalah kawasan konservasi, jadi fasilitasnya serba pas2an. Jangan dibayangkan ini adalah tempat wisata komersil. Untuk penginapan, kamarnya juga kurang bersih dan saya bahkan terkena tungau di kaki (semacam kutu kasur) waktu menginap di Wisma banteng. Padahal Wisma tersebut bisa dibilang paling bagus diantara yang lain di daerah Bekol.

Tapi saya melihat ada beberapa tempat penginapan dan resto yang sedang dibangun, jadi harapan saya sih, fasilitas di perbaiki. Terutama soal akses jalan ke Bekol dan Pantai Bama. TNB sebenarnya bisa lebih menarik seperti Taman Nasional Komodo jika tempat ini benar-benar dirawat. 

Photo Courtesy: Eky Rizki Darmawan

Sunday, December 9, 2012

Kawah Ijen, Bondowoso


Seumur hidup, saya ga akan pernah lupa sama yang namanya Gunung Ijen, serius deh! Karna apaaa? Karena eh karena, Gunung Ijen merupakan gunung pertama yang berhasil saya daki di sepanjang 27 tahun saya hidup di dunia ini. *terharu*, *lap air mata pake jilbab*,  *peres jilbab*, * jemur* #halah.

Alasan kami ingin mengunjungi Kawah Ijen adalah karena penasaran dengan api biru di Kawah Ijen yang konon hanya ada dua di dunia ini, yaitu di Ijen dan Islandia. Wuiiihh. Gunung Ijen merupakan salah satu dari rangkaian gunung yang masih aktif di dataran Pulau Jawa. Setiap gunung mempunyai keunikan yang khas, untuk Gunung Ijen keunikan terletak pada kawah gunung yang berwarna hijau toska karena memiliki kandungan tingkat asam yang tinggi.

Status Kawah Gunung Ijen masih waspada dan belum kembali ke status normal, namun pihak Perhutani masih membuka jalur pendakian secara terbatas sejak Juni 2012. Wisatawan tidak boleh mendekat ke kawah Ijen dengan radius 1 kilometer demi keselamatan mereka.

Gunung Ijen terletak di perbatasan Bondowoso dan Banyuwangi, Jawa Timur. Gunung ini memiliki ketinggian 2.386 meter dari permukaan laut. Ada dua rute alternative menuju Kawah Gunung Ijen, bisa dari Banyuwangi atau dari Bondowoso. Karena Ijen merupakan destinasi kedua kami setelah Tanjung Papuma, maka kami berangkat menggunakan jalur Bondowoso.

Jember to Kawah Ijen

Modal utama kami menggunakan GPS, baik GPS yang ada di ponsel, maupun GPS (Ganggu Penduduk Setempat) alias nanya sana sini. Hehehe. Sempet nyasar karena petunjuk arah yang disarankan GPS itu pake jalur alternative dan masuk ke kampung2, lucunya petunjuk jalan bilang arahnya lurus, padahal jelas2 di depan kita ada kali besar. Lah pagemana ceritanya mobil kita disuruh nerobos kali?

Emang agak perjuangan sih menggunakan jalur Bondowoso karena jalannya jelek banget. Ada beberapa pos penjagaan yang harus dilewati untuk menuju Paltuding, setiap pos kami diharuskan mengisi buku tamu. Paltuding adalah lokasi awal pendakian menuju Kawah Gunung Ijen. Di Paltuding inilah tempat di mana pos pengumpulan maupun penimbangan belerang, Pos Perhutani dan tempat parkir kendaraan. Tidak ada sarana transportasi umum yang langsung menuju Paltuding. Untuk itu pengunjung tidak memiliki pilihan antara memakai jasa travel atau kendaraan pribadi. Kalau mau cara esktrim: menumpang truk pengangkut belerang. Hehehee.

Memasuki daerah Paltuding, udara sudah mulai dingin. Tulang2 rasanya ngilu sekali dan hembusan nafas kami sudah berembun. Saat itu waktu menunjukkan pukul 02.00. Jika ingin melihat api biru di kawah gunung Ijen, disarankan mendaki dari malam hari agar api terlihat jelas. Sedangkan waktu yang disarankan untuk mendaki mulai pukul 05.00-07.00 WIB untuk menghindari bau dari uap belerang yang menusuk apabila mencapai puncaknya terlalu siang.


Jarak dari Paltuding ke Kawah Gunung Ijen sekitar 3 km dan memerlukan waktu 2-3 jam untuk mendaki jalan setapak. Tapi namanya juga mendaki gunung, meski jalan setapak mudah dilalui tapi derajat kemiringannya 45 derajat. Apalagi kami mulai mendaki pada pukul 02.30, selain gelap dan dingin, semakin ke atas kadar oksigen juga makin menipis. Saat itu hanya kelompok kami yang akan naik saat itu juga, kelompok lain memilih mendaki pada waktu shubuh.

Agak sulit menyamakan ritme 8 orang dengan kondisi fisik dan stamina yang berbeda. Awalnya kami banyak berhenti, karna saya berprinsip, kalau ada yang capek dan ingin istirahat harus bilang. Pokoknya satu berhenti, berhenti semua. Kunci mendaki gunung terletak di nafas, sebisa mungkin bernafas melalui hidung.

Karena perjalanan di lakukan pagi2 buta dan kondisinya sangat gelap karena semuanya hutan, satu2nya pemandangan yang kami nikmati adalah taburan bintang di langit. Begitu banyaknya sampai rasanya saya terbius dan enggan mengalihkan pandangan lain selain ke atas langit. Sejenak lupa akan tujuan kami mendaki, saya pun kembali konsentrasi mengikuti jalan setapak. Kami sempat bertemu dan dibalap dengan beberapa pendaki lainnya. Memberi semangat satu sama lain. Kami pun bertemu dengan beberapa penambang belerang yang sama2 hendak menuju Kawah Gunung Ijen.

Photo by Boy Jack Raymond

Waktu menunjukkan pukul 04.30 dan langit pun perlahan sudah mulai cerah. Jalan setapak sudah mulai datar. Artinya kami sudah berada dekat dengan Puncak Kawah Ijen. Tiba2 saya mendengar suara desiran dari sisi pohon cemara, menurut penambang belerang suara itu dihasilkan dari angin yang berhembus di sela2 pohon cemara. Bunyi suaranya sepeti suara alunan lagu untuk meditasi. Hening namun khidmat. Mata saya tertumpu pada kumpulan awan di samping saya, waahh tinggi saya sudah mulai sejajar dengan awan!  Saya pun melihat kelap kelip lampu kota dari ketinggian, entah itu Bondowoso atau Banyuwangi.

Sesampainya di Puncak Kawah Ijen, Subhanallah, terlihat dengan mata telanjang api biru yang menari2 dari atas tanah. Sebenarnya klo mau lihat lebih jelas bisa mendaki turun ke bawah, tapi kami memutuskan untuk tidak turun karena panas sekali dan bahaya bau belerang yang menyengat. Kami pun hanya duduk memandangi pemandangan danau kawah yang berwarna hijau toska dilatari tebing yang berwarna coklat keputih2an dan pedaran langit yang berwarna biru bercampur orange.


Waktu solat shubuh telah tiba, kami pun langsung melakukan tayamum dan solat di atas tebing menghadap Kawah Gunung Ijen. Rasanya nikmat sekali solat di latari pemandangan alam ciptaan Allah SWT. Sungguh kombinasi pemandangan yang sempurna.

Api Biru

Menurut Wikipedia:
Warna danau yang dipengaruhi keluaran gas belerang (H2S dan SO2) biasanya ber yang menutupi kawah aktif biasanya memiliki pH sangat rendah (0—2) sehingga praktis sangat beracun bagi sebagian besar makhluk hidup. warna hijau cerah (seperti di Kawah Ijen). Warna ini dapat berubah sewaktu-waktu menjadi kuning atau putih, tergantung kepekatan gas yang keluar. Gas lain yang dapat dikeluarkan kawah adalah gas klor, fluor, CO serta CO2. Komposisi gas-gas yang terlarut atau bereaksi dengan air dan mineral mengakibatkan perbedaan warna danau, seperti yang mudah terlihat pada kompleks Kelimutu.

Rasanya dingin banget berada di atas Kawah, angin yang berhembus kencang. Saya pun mulai kebelet pipis. Akhirnya setelah hampir 1.5 jam berlama2 memandangi kawah kami pun memutuskan untuk turun gunung. Terlihat banyak wisatawan yang mulai berdatangan, kebanyakan wisatawan asing. Lucunya pemandangan kami sungguh kontras, kami dengan kostum full jaket, sarung tangan dan kupluk, mereka dengan kaos tipis dan celana pendek. Hahahahaha.

Pemandangan ketika turun gunung ga kalah indahnya dengan pemandangan di puncak Gunung Ijen. Pemandangan hutan dan gelap yang saya lihat ketika mendaki ternyata merupakan jurang lereng gunung. Kami pun sejenak berhenti untuk memandangi lereng gurung berlatarkan pohon cemara, serta warna daun kuning kecoklatan. Sungguh merupakan kenikmatan sendiri berlama2 berada di atas Gunung.

Note:
  1. Bawa senter sendiri.
  2. Memakai spatu kets atau sandal gunung. 
  3. Tidak ada toilet di Kawah Gunung Ijen, kalaupun ada hanya berupa toilat darurat (tanah di lubangi) dan tidak ada air. 
  4. Penambang belerang sering kali menawarkan sabun belerang kepada kita, saran saya, jika mempunyai uang lebih beli saja, itung2 membantu penghasilan mereka yang tidak seberapa. Harga berkisar antara Rp. 10.000 – Rp. 20.000.
  5. Harus meminta ijin jika mau foto para penambang, ada beberapa dari mereka yang suka tersinggung jika difoto tanpa meminta ijin 
  6. Tidak perlu guide karena jalan setapak sangat mudah dilalui
Photo: Eky Rizki Darmawan