Friday, April 24, 2015

#menuju30: Demi saya di masa depan

 
Semenjak sadar bahwa bentar lagi saya #menuju30, saya jadi lebih aware sama hal2 disekitar saya. Seperti kepengen merekam momen menjelang berganti umur. Ga mau melewatkan momen kecil sekalipun. Saya mulai dari hal simple: saya makan tanpa ngecek hp. Klo sebelumnya badan bekerja dobel: sambil makan sambil baca update berita di sosmed, sekarang saya fokus hanya ke proses saya makan. Susah sih awalnya, tapi saya ngerasa makanan saya kok lebih enak ya? ga sekedar ngunyah dan nelan.

Klo udah mulai bosan, biasanya saya liat pemandangan di sekitar saya. Melihat bagaimana orang berinteraksi, dan tiba2 saya keinget sama momen2 yang dulu cuma selewat. Momen yang dulu kita kategorikan sebagai “ga penting” untuk dicerna oleh otak. Momen yang kadang kita pilah sebagai “I’ll come back to you later” karena pada saat itu tidak berkaitan dengan apa yang kita rasakan.

Kejadian “recall” ini yang saya rasakan tadi. Saya inget Maggie, teman kerja sekelompok, umurnya kira2 45-50 tahunan, keren ya umur segitu masih sekolah Master. Anyway, Maggie bilang: “Live with what you have now”, dan terus dia cerita soal gimana budaya konsumerisme sekarang sudah sangat meresahkan. Orang2 cenderung beli barang baru, padahal sebenernya barang yang lama masih berfungsi dengan baik. Di waktu Maggie cerita ini, pikiran saya menerawang, mungkin ga ya dampak dari konsumerisme ini bisa juga ke hal yang bersifat non-material?

Saya banyak banget melihat orang gampang banget nyerah. Mereka ga sabar untuk menilik sumber masalah dan menyelesaikan masalah tersebut satu per satu. Malah memilih cara instan, yaitu pergi. Karena dengan begitu mereka bisa memotong “jalur” lebih cepat, dan ga perlu buang2 waktu berhadapan di situasi yang sama terus2an. Toh bisa di “replace”. Klo pola pikir seperti ini terus2 dipakai, akibatnya orang tersebut ga punya mental yang kuat ketika suatu saat dihadapkan pada situasi yang benar2 sulit. Semacam sulit tingkat dewa, atau klo bahasa saya: sulit-sesulit-sulitnya-sulit.

Lalu sayup2 saya kembali mendengarkan suara Maggie, "I've been taught to save not buy" dan lalu dia nasehatin saya bahwa kamu harus tetap menabung meski itu sedikit. Kamu harus disiplin, karena itu akan membentuk karakter kamu untuk menjadi pribadi yang tidak gampang dirusak oleh materialisme. Nanti klo tabungan kamu udah banyak, kamu invest, kamu beli properti lalu kamu sewa, jadi uang tabungan kamu bisa jadi sumber pendapatan tambahan kamu tiap bulan. Pikiran saya menerawang ke rencana saya untuk beli ini itu dengan tabungan saya. Tiba2 Maggie suaranya meninggi, tampaknya dia tau saya ngelamun, “Ratri kamu masih muda, kamu perlu uang untuk menikah, bangun rumah lalu hidup nyaman sama keluarga kamu”. Tiba2 bayangan iphone 6 pun lenyap.

Maggie lalu melanjutkan, saya tau susah untuk merubah pola pikir, dengan menabung berarti kamu menyisihkan uang senang2 kamu. Tapi kamu harus mikir jauh ke depan, pikiran mimpi besar kamu, dan atur strategi dari situ. Lagian, kamu bisa kok tetep have fun tapi dengan biaya yang  murah: beli buku aja atau beli dvd untuk ditonton bareng2 di rumah, kamu bisa tetep have fun kan? Semua tergantung pola pikir kamu.

Ga mudah memang untuk menabung, apalagi klo kita juga ikut menopang orangtua kita. Tapi belajar dari kasus Maggie, saya harus mengelap kacamata saya yang masih berorientasi sama “present time” not “future time”. Klo dulu saya menabung untuk membeli barang/traveling, sekarang saya mesti menabung untuk investasi jangka panjang. Umur saya udah #menuju30, sudah cukup lah seneng2nya, travelingnya. Sekarang saatnya saya memikirkan hidup saya nanti di umur 40 dan 50. Saya harus mulai menabung, mulai berinvestasi, mulai hidup sehat, demi saya di masa depan.

PS: ini ada link artikel bagus yang bisa jadi inspirasi bagi yang tahun ini #menuju30, judulnya: 20 Things To Do When You’re 30 That Will Make Life Better At 50. Selamat membaca :)

Monday, April 20, 2015

#menuju30: Just keep livin'

Halo!

Jadi gini, september nanti saya genap berusaha 30 tahun. Trus tadi mikir kira2 pengen bikin apa ya untuk ngerayain umur baru?! Hihihiihihi. Akhirnya tadi muncul ide untuk bikin hashtag #menuju30, hashtag ini nanti bisa berupa postingan di twitter atau bisa juga di blog ini. Isinya bisa apa aja yang berupa renungan, hikmah, pelajaran atau apapun lah yang berkaitan dengan #menuju30. Caaa ileee renungan...tua banget yeeee?!

Banyak yang menilai 30 ini merupakan umur yang cukup matang Saya pun pengen ketika nanti resmi berganti umur, saya menjadi Ratri yang baru. Ratri yang lebih baik.

Di postingan perdana #menuju30, kali ini saya pengen curhat sharing tentang “penyesalan”. Baru-baru ini saya merasa menyesal tentang satu hal. Saya ngerasa saya khilaf banget membiarkan diri saya mengalami hal ini. Nyeselnya tuh sampe nyesel banget. Mungkin karena saya melanggar apa yang sudah saya pantang, istilahnya menjilat ludah sendiri. Lalu saya juga mengindahkan peringatan yang sebenernya sudah banyak muncul, dan parahnya saya melanggar perintah orang tua.

Ada selentingan komen yang bilang: “ah karna lo gagal aja jadi ngerasa nyesel, klo lo berhasil mana mungkin lo ngerasa nyesel!”. Hmmm mungkin pernyataan ini ada benarnya, tapi disini saya mau menekankan sesuatu yang bikin saya melihat penyesalan dari kacamata yang berbeda (tsaah bahasa guaahhh, macam komentator sepak bola :p).

Ceritanya begini: hari ini Sydney lagi hujan badai, ini link beritanya klo ga percaya. Hahahaha. Dan apesnya hari ini saya udah janji mau diskusi kelompok sama Maggie, temen kuliah saya. Kita janjian di perpustakaan kampus. Yaah mau gimana lagi, Janji adalah janji, hutang jangan lupa dibayar, akhirnya saya nerobos hujan badai dengan payung kesayangan saya. Simere.

Abis diskusi kelar saya berniat pengen ngaji ke Punchbowl, sepanjang jalan Simere kuat banget menerjang angin. Di saat payung orang lain udah KO, Simere masih gagah perkasa melindungi saya dari terpaan angin dan hujan. *Alhamdulillah ga sia2 saya beli mahal2*. Pas perjalanan menuju Punchbowl, cuaca makin parah, tapi entah kenapa saya keukeuh jumekeuh pengen ke Mesjid. Padahal dari Stasiun Punchbowl ke Mesjid jaraknya sekitar 500m. Kebayang kan rusuhnya jalan kaki setengah kilo dengan cuaca kaya begitu?! Herannya saya ga mikir barang nol-koma-nol-detik pun klo saya mending pulang aja. Pokoknya nih badan udah kaya otomatis pengen ke Mesjid. Bodo amat mau ujan kek mau badai kek.

Nah, ditengah jalan, angin parah banget kencengnya. Baju saya dari pinggang ke bawah udah kuyub-sekuyub-kuyubnya-kuyub. Dan kejadian yang saya ga duga sebelumnya akhirnya kejadian! Di tengah jalan ada bunyi *CTAK*. Saya cek Simere, yaaahhh patah. Disitu saya merasa SEDIH BUKAN MAIN. Simere ini favorit saya banget. Dan dia patah karena saya maksain pake Simere dengan cuaca yang JELAS-JELAS BURUK kaya gini. Saya cuek sama ANGIN, HUJAN, BADAI yang udah bikin setengah badan saya basah begini. Parahnya pas saya sampe mesjid ternyata sepiiii ga ada orang. EAAAAAKKKK. Akhirnya saya harus melewati rute yang sama dan jadi bener2 basah seluruh badan.

Otw pulang, saya akhirnya mikir. Oh ini ya maksudnya kenapa nyesel itu ga ada gunanya. Seburuk2nya hasil akhir, toh itu sudah menjadi keputusan sendiri yang kita ambil (dengan atau tanpa pemikiran yang matang). Saat saya keras kepala tetep jalan kaki ditengah cuaca buruk begini, itu karena saya sudah mengambil keputusan: saya akan ke mesjid. Ketika ternyata sampe mesjid ga ada orang, saya basah kuyub dan payung patah itu adalah RESIKO dari keputusan saya. Sama halnya klo saya memilih untuk pulang ke rumah, berarti saya ga bisa solat Isya berjamaah dan ga bisa ngaji Hadist Ibnu Majjah, itu pun RESIKO.

Kejadian ini bikin saya sadar, apapun keputusan kita, pasti ada resikonya. Semacam berbanding lurus. Ga mungkin ga ada resiko. Poin pentingnya: ketika akhirnya keputusan tidak berjalan sesuai kehendak kita, ga perlu nyalahin siapa2, termasuk ke diri sendiri. Belajar bertanggungjawab sama apa yang sudah menjadi pilihan kita. Setelah itu, ambil hikmahnya.

Hikmah kejadian tadi adalah saya harus lebih objektif melihat hal. Gagal itu biasa. Gagal itu lumrah. Yang mesti disikapi adalah apa yang harus dihindari biar ke depannya ga kejadian kaya gini lagi. Ada maksudnya pepatah "Nasi sudah menjadi bubur" itu diperdengarkan berkali2 dari ketika kita masih kecil.

Sampe rumah saya mandi, memandangi Simere dengan syahdu, mengingat momen2 kami berdua dan langsung buka laptop liat website Kathmandu. BINGO! Simere lagi diskon!!!!

kenangan manis sama Simere


PS: postingan ini didekasikan untuk Sepupu saya Faradina Lubis yang ga bosen ngingetin bahwa: Baik dan Buruk, pasti ada hikmahnya. Love you so much Inahoy :*