Tuesday, July 15, 2014

Menjalani Bulan Puasa di Negara Non-Muslim


Bulan puasa tahun ini terasa sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Untuk pertama kalinya, sejak saya mulai berpuasa, Ramadhan saya jalani jauh dari keluarga. Berada di tengah2 masyarakat yang mayoritas beragama non muslim, menjadikan bulan Ramadhan disini terasa biasa saja. Benarkah?

Yang jelas, disini tidak ada ribut-ribut soal hilal. Semua patuh pada keputusan badan “MUI”-nya sini. Hari pertama di bulan Ramadhan ditetapkan pada hari minggu, 29 Juni 2014. Memang, ada beberapa komunitas Islam yang memulai puasa lebih dahulu, tapi tidak lantas mendeklarasikan perbedaan mereka secara lantang. Disini urusan keyakinan memang sifatnya vertikal, dan semua orang menghormati pilihan keyakinan masing-masing. Lucu memang, kedamaian beribadah justru terasa di lingkungan yang sangat heterogen. 

Oia, disini tidak ada penjual takjil dengan aneka kue yang membuat saya menelan ludah, karena tergoda akan rupa dan warnanya, meski mungkin rasanya biasa saja (hey its a ryhme). Saya sudah merasa cukup berbuka puasa dengan secangkir teh manis hangat dan beberapa butir kurma. Ada rasa nikmat yang tidak bisa dijelaskan di balik kesederhanaan ini. Mungkin karena dengan memakan kurma adalah satu2nya pengingat bahwa saat ini adalah bulan Ramadhan. 

Disini tidak semudah itu menemukan mesjid atau musholla, meski saya tinggal di area warga  Lebanon yang mayoritas muslim. Untuk salat tarawih, Saya harus naik kereta atau berjalan sejauh 2.3 km (sekitar 30-45 menit). Setelah seharian beraktivitas dibarengi puasa, ada suka cita yang terasa ketika bertemu dengan sedulur muslim dari Indonesia maupun dari negara lain di masjid. 

Dibalik semua kekurangan yang saya jalani, rasanya nikmaaaaaat sekali menjalani bulan Ramadhan dalam kesederhanaan. Saya bisa menjalankan ibadah dengan fokus, tanpa embel2 “nuansa Ramadhan” yang biasa dirasakan di Indonesia. 

Memang tidak ada suara nyaring muadzin yang selalu mengingatkan waktu imsak di corong speaker masjid, tidak ada lantunan adzan maghrib yang terdengar, tidak ada program tv yang  berisi ceramah taulan Nabi Muhammad SAW, dan tidak ada lantunan ayat2 Al-Quran di speaker masjid. Sunyi. Tetapi justru didalam kesunyian, jauh dari hingar bingar Ramadhan, hati saya terasa penuh. 

Rasanya nikmat sekali mendengar adzan, mungkin karena disini tidak setiap hari saya mendengar adzan, jadi sekalinya denger ibarat senandung yang menyejukkan hati. Solat berjamaah pun menjadi suatu hal yang istimewa bagi saya karena satu2nya moment dimana saya berada ditengah2 masyarakat muslim. 

Ada bisikin kecil di batin saya, ternyata kemudahan yang saya alami ketika menjalani bulan puasa di Indonesia menjadikan saya menjadi muslim yang pemalas. Memang banyak godaan ketika menjalani bulan suci yang penuh rahmat di negara yang mayoritas non-muslim. Tetapi menjadi minoritas justru menimbulkan rasa ingin selalu dekat dengan Sang Pencipta. Kaki ini seperti selalu tergerak untuk mencari Rahmat-NYA, karena semenjak merantau, jauh dari keluarga dan teman, saya menjadi semakin sadar bahwa hanya dengan terus mendekatkan diri kepadaNYA, saya merasa tidak sendiri. 

Selamat berpuasa :-)



Salam kedinginan dari Sydney