Bulan puasa tahun ini
terasa sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Untuk pertama kalinya, sejak
saya mulai berpuasa, Ramadhan saya jalani jauh dari keluarga. Berada di tengah2
masyarakat yang mayoritas beragama non muslim, menjadikan bulan Ramadhan disini
terasa biasa saja. Benarkah?
Yang jelas, disini tidak
ada ribut-ribut soal hilal. Semua patuh pada keputusan badan “MUI”-nya sini.
Hari pertama di bulan Ramadhan ditetapkan pada hari minggu, 29 Juni 2014.
Memang, ada beberapa komunitas Islam yang memulai puasa lebih dahulu, tapi
tidak lantas mendeklarasikan perbedaan mereka secara lantang. Disini urusan
keyakinan memang sifatnya vertikal, dan semua orang menghormati pilihan keyakinan
masing-masing. Lucu memang, kedamaian beribadah justru terasa di lingkungan
yang sangat heterogen.
Oia, disini tidak ada
penjual takjil dengan aneka kue yang membuat saya menelan ludah, karena tergoda
akan rupa dan warnanya, meski mungkin rasanya biasa saja (hey its a ryhme). Saya
sudah merasa cukup berbuka puasa dengan secangkir teh manis hangat dan beberapa
butir kurma. Ada rasa nikmat yang tidak bisa dijelaskan di balik kesederhanaan
ini. Mungkin karena dengan memakan kurma adalah satu2nya pengingat bahwa saat
ini adalah bulan Ramadhan.
Disini tidak semudah itu
menemukan mesjid atau musholla, meski saya tinggal di area warga Lebanon yang mayoritas muslim. Untuk salat
tarawih, Saya harus naik kereta atau berjalan sejauh 2.3 km (sekitar 30-45
menit). Setelah seharian beraktivitas dibarengi puasa, ada suka cita yang
terasa ketika bertemu dengan sedulur muslim dari Indonesia maupun dari negara
lain di masjid.
Dibalik semua kekurangan
yang saya jalani, rasanya nikmaaaaaat sekali menjalani bulan Ramadhan dalam
kesederhanaan. Saya bisa menjalankan ibadah dengan fokus, tanpa embel2 “nuansa
Ramadhan” yang biasa dirasakan di Indonesia.
Memang tidak ada suara
nyaring muadzin yang selalu mengingatkan waktu imsak di corong speaker masjid, tidak
ada lantunan adzan maghrib yang terdengar, tidak ada program tv yang berisi ceramah taulan Nabi Muhammad SAW, dan tidak
ada lantunan ayat2 Al-Quran di speaker masjid. Sunyi. Tetapi justru didalam
kesunyian, jauh dari hingar bingar Ramadhan, hati saya terasa penuh.
Rasanya nikmat sekali
mendengar adzan, mungkin karena disini tidak setiap hari saya mendengar adzan,
jadi sekalinya denger ibarat senandung yang menyejukkan hati. Solat berjamaah pun
menjadi suatu hal yang istimewa bagi saya karena satu2nya moment dimana saya berada
ditengah2 masyarakat muslim.
Ada bisikin kecil di
batin saya, ternyata kemudahan yang saya alami ketika menjalani bulan puasa di
Indonesia menjadikan saya menjadi muslim yang pemalas. Memang banyak godaan
ketika menjalani bulan suci yang penuh rahmat di negara yang mayoritas
non-muslim. Tetapi menjadi minoritas justru menimbulkan rasa ingin selalu dekat
dengan Sang Pencipta. Kaki ini seperti selalu tergerak untuk mencari
Rahmat-NYA, karena semenjak merantau, jauh dari keluarga dan teman, saya
menjadi semakin sadar bahwa hanya dengan terus mendekatkan diri kepadaNYA, saya
merasa tidak sendiri.
Selamat berpuasa :-)
Salam kedinginan dari Sydney
No comments:
Post a Comment