Seumur hidup, saya ga akan pernah lupa sama yang namanya Gunung Ijen, serius deh! Karna apaaa? Karena eh karena, Gunung Ijen merupakan gunung pertama yang berhasil saya daki di sepanjang 27 tahun saya hidup di dunia ini. *terharu*, *lap air mata pake jilbab*, *peres jilbab*, * jemur* #halah.
Alasan kami ingin mengunjungi Kawah Ijen adalah karena penasaran dengan api biru di Kawah Ijen yang konon hanya ada dua di dunia ini, yaitu di Ijen dan Islandia. Wuiiihh. Gunung Ijen merupakan salah satu dari rangkaian gunung yang masih aktif di dataran Pulau Jawa. Setiap gunung mempunyai keunikan yang khas, untuk Gunung Ijen keunikan terletak pada kawah gunung yang berwarna hijau toska karena memiliki kandungan tingkat asam yang tinggi.
Status Kawah Gunung Ijen masih waspada dan belum kembali ke status normal, namun pihak Perhutani masih membuka jalur pendakian secara terbatas sejak Juni 2012. Wisatawan tidak boleh mendekat ke kawah Ijen dengan radius 1 kilometer demi keselamatan mereka.
Gunung Ijen terletak di perbatasan Bondowoso dan Banyuwangi, Jawa Timur. Gunung ini memiliki ketinggian 2.386 meter dari permukaan laut. Ada dua rute alternative menuju Kawah Gunung Ijen, bisa dari Banyuwangi atau dari Bondowoso. Karena Ijen merupakan destinasi kedua kami setelah Tanjung Papuma, maka kami berangkat menggunakan jalur Bondowoso.
Jember to Kawah Ijen |
Modal utama kami menggunakan GPS, baik GPS yang ada di ponsel, maupun GPS (Ganggu Penduduk Setempat) alias nanya sana sini. Hehehe. Sempet nyasar karena petunjuk arah yang disarankan GPS itu pake jalur alternative dan masuk ke kampung2, lucunya petunjuk jalan bilang arahnya lurus, padahal jelas2 di depan kita ada kali besar. Lah pagemana ceritanya mobil kita disuruh nerobos kali?
Emang agak perjuangan sih menggunakan jalur Bondowoso karena jalannya jelek banget. Ada beberapa pos penjagaan yang harus dilewati untuk menuju Paltuding, setiap pos kami diharuskan mengisi buku tamu. Paltuding adalah lokasi awal pendakian menuju Kawah Gunung Ijen. Di Paltuding inilah tempat di mana pos pengumpulan maupun penimbangan belerang, Pos Perhutani dan tempat parkir kendaraan. Tidak ada sarana transportasi umum yang langsung menuju Paltuding. Untuk itu pengunjung tidak memiliki pilihan antara memakai jasa travel atau kendaraan pribadi. Kalau mau cara esktrim: menumpang truk pengangkut belerang. Hehehee.
Memasuki daerah Paltuding, udara sudah mulai dingin. Tulang2 rasanya ngilu sekali dan hembusan nafas kami sudah berembun. Saat itu waktu menunjukkan pukul 02.00. Jika ingin melihat api biru di kawah gunung Ijen, disarankan mendaki dari malam hari agar api terlihat jelas. Sedangkan waktu yang disarankan untuk mendaki mulai pukul 05.00-07.00 WIB untuk menghindari bau dari uap belerang yang menusuk apabila mencapai puncaknya terlalu siang.
Jarak dari Paltuding ke Kawah Gunung Ijen sekitar 3 km dan memerlukan waktu 2-3 jam untuk mendaki jalan setapak. Tapi namanya juga mendaki gunung, meski jalan setapak mudah dilalui tapi derajat kemiringannya 45 derajat. Apalagi kami mulai mendaki pada pukul 02.30, selain gelap dan dingin, semakin ke atas kadar oksigen juga makin menipis. Saat itu hanya kelompok kami yang akan naik saat itu juga, kelompok lain memilih mendaki pada waktu shubuh.
Agak sulit menyamakan ritme 8 orang dengan kondisi fisik dan stamina yang berbeda. Awalnya kami banyak berhenti, karna saya berprinsip, kalau ada yang capek dan ingin istirahat harus bilang. Pokoknya satu berhenti, berhenti semua. Kunci mendaki gunung terletak di nafas, sebisa mungkin bernafas melalui hidung.
Karena perjalanan di lakukan pagi2 buta dan kondisinya sangat gelap karena semuanya hutan, satu2nya pemandangan yang kami nikmati adalah taburan bintang di langit. Begitu banyaknya sampai rasanya saya terbius dan enggan mengalihkan pandangan lain selain ke atas langit. Sejenak lupa akan tujuan kami mendaki, saya pun kembali konsentrasi mengikuti jalan setapak. Kami sempat bertemu dan dibalap dengan beberapa pendaki lainnya. Memberi semangat satu sama lain. Kami pun bertemu dengan beberapa penambang belerang yang sama2 hendak menuju Kawah Gunung Ijen.
Photo by Boy Jack Raymond |
Waktu menunjukkan pukul 04.30 dan langit pun perlahan sudah mulai cerah. Jalan setapak sudah mulai datar. Artinya kami sudah berada dekat dengan Puncak Kawah Ijen. Tiba2 saya mendengar suara desiran dari sisi pohon cemara, menurut penambang belerang suara itu dihasilkan dari angin yang berhembus di sela2 pohon cemara. Bunyi suaranya sepeti suara alunan lagu untuk meditasi. Hening namun khidmat. Mata saya tertumpu pada kumpulan awan di samping saya, waahh tinggi saya sudah mulai sejajar dengan awan! Saya pun melihat kelap kelip lampu kota dari ketinggian, entah itu Bondowoso atau Banyuwangi.
Sesampainya di Puncak Kawah Ijen, Subhanallah, terlihat dengan mata telanjang api biru yang menari2 dari atas tanah. Sebenarnya klo mau lihat lebih jelas bisa mendaki turun ke bawah, tapi kami memutuskan untuk tidak turun karena panas sekali dan bahaya bau belerang yang menyengat. Kami pun hanya duduk memandangi pemandangan danau kawah yang berwarna hijau toska dilatari tebing yang berwarna coklat keputih2an dan pedaran langit yang berwarna biru bercampur orange.
Waktu solat shubuh telah tiba, kami pun langsung melakukan tayamum dan solat di atas tebing menghadap Kawah Gunung Ijen. Rasanya nikmat sekali solat di latari pemandangan alam ciptaan Allah SWT. Sungguh kombinasi pemandangan yang sempurna.
Api Biru |
Menurut Wikipedia:
Warna danau yang dipengaruhi keluaran gas belerang (H2S dan SO2) biasanya ber yang menutupi kawah aktif biasanya memiliki pH sangat rendah (0—2) sehingga praktis sangat beracun bagi sebagian besar makhluk hidup. warna hijau cerah (seperti di Kawah Ijen). Warna ini dapat berubah sewaktu-waktu menjadi kuning atau putih, tergantung kepekatan gas yang keluar. Gas lain yang dapat dikeluarkan kawah adalah gas klor, fluor, CO serta CO2. Komposisi gas-gas yang terlarut atau bereaksi dengan air dan mineral mengakibatkan perbedaan warna danau, seperti yang mudah terlihat pada kompleks Kelimutu.
Rasanya dingin banget berada di atas Kawah, angin yang berhembus kencang. Saya pun mulai kebelet pipis. Akhirnya setelah hampir 1.5 jam berlama2 memandangi kawah kami pun memutuskan untuk turun gunung. Terlihat banyak wisatawan yang mulai berdatangan, kebanyakan wisatawan asing. Lucunya pemandangan kami sungguh kontras, kami dengan kostum full jaket, sarung tangan dan kupluk, mereka dengan kaos tipis dan celana pendek. Hahahahaha.
Pemandangan ketika turun gunung ga kalah indahnya dengan pemandangan di puncak Gunung Ijen. Pemandangan hutan dan gelap yang saya lihat ketika mendaki ternyata merupakan jurang lereng gunung. Kami pun sejenak berhenti untuk memandangi lereng gurung berlatarkan pohon cemara, serta warna daun kuning kecoklatan. Sungguh merupakan kenikmatan sendiri berlama2 berada di atas Gunung.
Note:
- Bawa senter sendiri.
- Memakai spatu kets atau sandal gunung.
- Tidak ada toilet di Kawah Gunung Ijen, kalaupun ada hanya berupa toilat darurat (tanah di lubangi) dan tidak ada air.
- Penambang belerang sering kali menawarkan sabun belerang kepada kita, saran saya, jika mempunyai uang lebih beli saja, itung2 membantu penghasilan mereka yang tidak seberapa. Harga berkisar antara Rp. 10.000 – Rp. 20.000.
- Harus meminta ijin jika mau foto para penambang, ada beberapa dari mereka yang suka tersinggung jika difoto tanpa meminta ijin
- Tidak perlu guide karena jalan setapak sangat mudah dilalui