Haloooo!
Senang banget akhirnya kembali
ke Ibu pertiwi, tanah air tercinta, INDONESIA! Banyak cerita dari beberapa
temen alumni AAS yang mengalami kesulitan beradaptasi ketika sudah kembali ke
negara asal. Alhamdulillah saya ga ngalamin hal yang aneh2, mungkin karena saya
sempat pulang 2x ke Indonesia selama 1.5 tahun merantau. Jadi hal2 seperti
macet, udara panas, masalah kebersihan, semrawut dll tidak terlalu menggangu.
Namun bukan berarti proses adaptasi saya berjalan mulus. Bukan hanya mental
yang beradaptasi, tetapi juga fisik (terutama masalah pencernaan) yang harus
pelan2 menyesuaikan.
Di minggu kedua setelah
saya pulang, saya mengalami diare parah selama 4 hari dan baru sembuh betul
setelah 10 hari. Sebabnya karena saya makan di warung makan pinggir jalan. Beberapa
teman saya juga mengalami hal serupa, bahkan mereka ga jajan di luar pun masih
kena diare. Terdengar lebay? “ya elah norak banget sih. Mentang2 dari luar
negri, sombong banget!”. Hahahaha. Mungkin begitu reaksi orang2 ketika
mendengar perihal diare. Saya juga dulu termasuk menganggap enteng, sampai saya
ngalamin kolik perut malem2 yang sungguh sakitnya minta ampun. Sejak itu saya
ga berani lagi jajan di luar, at least bertahap lah sebelum bener2 kembali ke
kebiasaan kuliner jaman dulu sebelum berangkat ke Australia.
Reverse Culture Shock does exist!
Proses kembali
beradaptasi dengan budaya negara asal adalah hal umum yang dialami oleh
sebagian mahasiswa yang pernah tinggal cukup lama di negara lain. Ketika pada awal
kedatangan kita mengalami culture shock, kemudian akhirnya menjadi terbiasa
dengan sistem dan budaya negara lain, maka ketika kembali pulang ke negara asal
kita merasa asing dengan budaya negara sendiri. Hal ini bisa terjadi walaupun
kita menghabiskan sepanjang hidup kita di Indonesia.
Teman saya, Ika, sampai
pernah nangis di taksi dalam perjalanan pulang karena stress dengan macetnya
Jakarta! Atau ada juga yang berkeluh kesah di sosial media tentang semrawutnya
Indonesia dibandingkan Australia (misalnya), atau istilahnya: belum move on.
Kita tidak bisa
sepenuhnya men-judge orang2 tersebut sebagai sombong atau belagu. Hal tersebut
lumrah, saya pun suka merasa terkejut bagaimana 1.5 tahun dapat merubah
kebiasaan saya. Mungkin ada yang bereaksi berlebihan, tetapi percaya deh, reverse
culture shock benar2 terjadi. Ga usah bahas soal mental dulu, buktinya badan
saya aja bereaksi dengan kuman atau bakteri di lingkungan tempat tinggal saya. Fisik
saja mengalami proses adaptasi, apalagi mental.
Change is never easy, give yourself 5 minutes to
adapt
Sebelum pulang saya
sebenarnya sudah menyiapkan diri jika saya ngalamin reverse culture shock. Saya
minta waktu ke bos saya untuk libur dulu selama 2 minggu sebelum masuk kerja. Waktu
libur saya manfaatkan untuk kumpul dengan keluarga dan yang paling penting
membiasakan diri saya kembali ke kebiasaan lama.
Being flexible and expecting the unexpected
Semakin kita berontak,
semakin sulit proses penyesuaiannya. Fleksibel aja, karena sebenernya reverse
culture shock hanya masa transisi dan prosesnya sementara. Sewaktu kembali ke
Indonesia saya ga semerta2 langsung merubah kebiasaan saya selama di Australia.
Saya masih berusaha untuk makan dan hidup sehat, kemana2 masih menggunakan
transportasi publik, saya masih masak. Cuma mungkin harus lebih waspada aja,
klo dulu berasa kemana2 aman, sekarang saya mesti hati2. Saya sempet merasa stress ketika melihat
ketidakdisiplinan perilaku orang2, tetapi saya ga ambil pusing, yang penting
saya tidak berperilaku yang merugikan orang lain.
Sekarang saya sudah
merasa lebih happy dan rasanya sudah melalui fase reverse culture shock. Sekarang
gimana saya memposisikan diri saya saja, mengambil kebiasaan2 baik saya ketika
di Australia dan mengaplikasikannya ke kehidupan sehari2 di Indonesia. Prosesnya
menyenangkan kok :)