photo: google |
Setiap tahun di Bulan Ramadhan setiap umat muslim manapun di dunia mencurahkan segenap waktunya untuk beribadah. Tak terkecuali saya. Karena di bulan penuh rahmat ini, Allah SWT seperti berjarak dekat dengan umatnya. DIA seperti berada di sekitar kita dengan wujud dan bentuk lain. Terasa dekat dan senantiasa melindungi umatnya dari kotornya hati dan perbuatan. Menghadiahi imbalan lipatan pahala sekehendakNYA. Pada di bulan inilah, Asma Allah berkumandang tanpa henti, berdengung dan mengalun indah setiap harinya. Terasa damai dan tenang.
Sepuluh malam terakhir merupakan waktu yang paling istimewa, karena disaat inilah Allah SWT membagikan pahala bagi umatnya yang berdiam diri di masjid (itikaf), sejak waktu Isya sampai terbitnya fajar. Pahalanya luar biasa, seperti pahala 2 kali naik Haji dan 2 kali umrah. Tidak hanya pahala itikaf, di malam ganjil pun Allah menurunkan kefadholan yaitu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan. Ibadahnya hanya 1 hari, tetapi pahalanya seperti ibadah selama 3 tahun.
Alhamdulillah setiap tahunnya, Allah masih memberikan kesempatan dan nikmat sehat kepada keluarga saya untuk beritikaf di 10 malam terakhir. Ada yang istimewa pada itikaf tahun ini, tepatnya di malam ke 27. Malam yang banyak dipercaya umat islam adalah malam turunnya Lailatul Qadr. Saat itu jam di dinding masjid menunjukkan pukul 22.30. Mubaligh sedang bertadarus. Kami pun ikut menyimak dan mendengarkan. Sesekali pada ayat tertentu, Mubaligh membacakan tafsir ayat yang dilantunkan. Kala itu saya berusaha menyimak dengan khusyuk, berusaha melawan rasa kantuk yang bertubi-tubi datang. Alunan ayat suci yang dilantunkan sungguh membuat hati ini tenang, terbawa suasana damai yang menyejukkan.
Seketika air mata saya jatuh, dan terus2an jatuh tanpa henti. Saya sendiri tidak mengerti mengapa ini terjadi. Saya tidak sedang berpikir apa2. Hanya menangis dan menangis. Ada rasa damai, sejuk bercampur haru. Dada saya ini rasanya plong. Seperti habis berteriak dan merasa lega. Ringan sekali rasanya. Saya berusaha menutupi ini agar ibu saya tidak melihat. Tetapi toh akhirnya ketauan juga, ibu pun bertanya mengapa mata saya merah dan berair, saya hanya menjawab saya habis menguap karena mengantuk.
Seketika mubaligh menghentikan tadarusnya, sambil mengutip hadist dan riwayatnya ia berkata: “Siapa yang sampai padanya Al-Qur’an,” sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Kaab al-Qurazi, “Kemudian ia membacanya,” lanjutnya, “Maka ia seperti sedang berdialog dengan Allah”. Sedangkan Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Jika aku menginginkan agar Allah berbicara kepadaku, maka aku membaca al-Qur’an. Dan tatkala aku ingin berbicara kepada Allah, maka aku melaksanakan shalat.”
Seketika saya paham mengapa air mata saya menetes, menyimak Al-Quran sesungguhnya seperti membaca ayat di dalam hati meski bibir tidak mengucap. Saat itu saya (mungkin) merasa Allah berdialog dengan saya, berbicara dengan saya dan merasakanNYA hadir. Sungguh ini peristiwa yang luar biasa bagi saya. Saya ingin kembali merasakan hal yang sama, terasa dekat dengan Semesta setiap harinya, tidak hanya di Bulan Ramadhan.
Happy Eid Mubarak =)