Tiap ditanya: Ratri orang mana? Selalu ada jeda sejenak, selalu mikir, dan akhirnya menjawab: aku orang Batak campur Jawa. Dan bisa ditebak pertanyaan selanjutnya: Kok ga ada marganya? Kampungnya dimananya? Karo apa Mandailing? Jawa Timurnya mana? Oh Surabaya, dimananya?
Mirisnya saya ga tau jawaban itu, padahal itu pertanyaan lanjutan yang selalu meliputi pertanyaan pertama tadi. Yaah bisa saja saya bertanya ke orangtua saya, tapi sebenarnya tidak se-simple itu. Karena jauh di lubuk hati saya, saya tidak merasa seperti orang jawa apalagi batak.
Sejak 2 generasi diatas saya sudah menetap di Jakarta sejak tahun 1950-an. Keluarga besar kami akhirnya satu persatu mengikut pindah domisili ke Jakarta. Hal ini menjadikan kami seperti tidak punya “kampung”. Terutama setelah Eyang Buyut kami telah tiada. Praktis jika hari lebaran tiba, kami mengunjungi Eyang dan sanak saudara tertua yang bertempat tinggal di Jakarta.
Rupanya dari pihak Ayah, saya benar2 tidak mempunyai saudara (bahkan saudara jauh sekalipun) di Sumatra Utara, karena semua sudah bertransmigrasi ke Pekalongan, Yogyakarta dan Jakarta. Kondisi dari pihak Ibu sebenarnya lebih baik karena saudara di Surabaya masih banyak. Tetapi tradisi berkunjung kesana sepertinya sudah punah sepeninggalan Eyang Kakung. Jadi dapat dibilang keluarga saya (sok) "kejawa2an". Karena kalau dari silsilah sih Jawa, tapiiiiii.....palsu! hehehe. Bahkan ada guyonan yang bilang: "Surabaya itu bukan Jawa kaliii Rat!! Tapi Kota pinggiran." Hehehe. Ditambah saya tidak bisa berbahasa Jawa, mengerti pun tidak, menjadikan saya menjadi orang yang terlepas dari silsilah leluhur.
Saya pun akhirnya menyerah sendiri mencari informasi mengenai leluhur saya, karena bisa dipastikan semua sudah berasimilasi dan menjadi rumit bila dijabarkan.
Sampai kemarin, ketika saya diajak teman saya menghadiri Pesta Pernikahan Adat Batak. Ini pertama kalinya saya “bersentuhan” dengan budaya asal nenek moyang saya dari garis Ayah. Reaksi pertama, Saya sungguh tersentuh dengan suasana kekerabatannya, semua tampak bergembira, musik tak henti2nya berkumandang menghibur para tamu, dan semua menari tor tor dengan bersuka cita. Biasanya di adat jawa, pelaminan diisi oleh Pengantin dan Orang tua dari kedua belah pihak, tetapi di pernikahan Batak, semua keluarga yang berasal dari satu Opung berkumpul di pelaminan. Jika dihitung kira2 ada 20 orang. Para tamu pun bergantin mengucapkan selamat dengan menari tor tor sambil menyelipkan amplop berisi uang di sela2 jari mereka. Everyone is having a good time, this is the real party!! hehehe
Jujur saya suka sekali berada disana, apalagi menikmati suara wedding singer yang membagi suara sampai 3 jenis dan vibra mereka yang sungguh khas. Disaat yang sama saya juga tertegun, saya berdarah batak tapi baru kali ini bersentuhan langsung, meski hanya di acara pernikahan, wedding crasher pula. Hehehe.
Sepulang dari kawinan, saya jadi teringat 2 lagu batak yang saya tahu. Yaitu: siksiksibatumanikam dan piso surit. Entah mengapa saya tiba2 ingin dengar lagu Piso Surit. Pertama kali dengar lagu ini waktu itu di MTV 100% Indonesia, saya langsung jatuh cinta sama aransemennya. Sampai beli kasetnya Vicky Sianipar, walaupun yang saya dengar hanya track lagu Piso Surit.
Karena rindu, saya buka situs youtube dan kembali mendengarkan. Saya langsung mberebes mili, karena kok beneran rindu kampung ya? Kampung yang saya sendiri ga tahu, dan tidak pernah saya datangi. I feel attached at that moment
Menurut Wikipedia:
“Piso Surit adalah salah satu tarian Suku Karo yang menggambarkan seorang gadis sedang menantikan kedatangan kekasihnya. Penantian tersebut sangat lama dan menyedihkan dan digambarkan seperti burung Piso Surit yang sedang memanggil-manggil. Sebenarnya Piso Surit adalah bunyi sejenis burung yang suka bernyanyi. Kicau burung ini bila didengar secara seksama sepertinya sedang memanggil-manggil dan kedengaran sangat menyedihkan. Jenis burung tersebut dalam bahasa karo disebut "pincala" bunyinya nyaring dan berulang-ulang dengan bunyi seperti "piso serit".
Dan saya pun berhasil mendapatkan terjemahannya.
Piso surit piso surit (Burung Piso surit)
terpingko-pingko terdilo-dilo (Bercuit cuit, memanggil manggil)
alap la jumpa ras atena ngena (namun tidak kunjung berjumpa, dengan pujaan hatinya)
i ja kel kena tengahna gundari (dimanakah dirimu saat ini kekasihku)
siangna menda turang atena wari (dan hari pun kini menjelang senja)
entabeh nari mata kena tertunduh (lelap sekali sepertinya tidurmu)
aku nimaisa turang tangis teriluh (sementara aku disini menangis menunggumu)
reff:
enggo enggo me dagena mulih me dage kena (sudahlah, pulang sajalah lah kau adik, tidak usah mengharapkan ku)
bage me nindu rupa ari o turang (demikianlah yang selalu kau ucapkan)
Saya kok ya jadi malu, karena sudah sejak 2007 mulai jadi traveler, kok ya ga pernah berkunjung ke Tanah Batak. Saya jadi bertekad, Insya Allah, saya akan mewujudkannya tahun depan. Teringat komentar seorang rekan kerja ketika mengetahui orang Batak : "oh iya sih, idung lo ga bisa bohong! Batak bangettt! Bangiiiirr…" hahahahaha..